google-site-verification=KNiaUTl4cvS0QWEq70awaC3CPW4UE87U-ZfLlwt_yhQ TEATER DAS '51: 24/02/2013 - 03/03/2013 .breadcrumbs{ padding:5px 5px 5px 0; margin:0;font-size:95%; line-height:1.4em; border-bottom:4px double #cadaef}

SALAM BUDAYA


SUGENG RAWOH WONTEN GUBUK KREATIF TEATER DAS 51

Friday 1 March 2013

CERPEN ISTRI KOMANDAN WEK~WEK



Duka Istri KomandanWekWek
Oleh: Enggar Tata
Entah bagaimana mulanya, saban usai menunaikan shalat subuh aku menjadi seorang komandan. Menyiapkan pasukan dan menggiringnya ke sawah yang selesai dipanen. Istriku. Igo wekasku. Selalu sedia menyiapkan sarapan seadanya sebelum aku berangkat. Ia akan selalu tampil menawan di depanku. Tak perduli dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Sungguh beruntung lelaki macam aku ini. Bujang lapuk yang miskin mampu menyunting seorang gadis kembang desa, anak saudagar kaya yang menjadi idaman setiap lelaki. Mulai dari yang muda, setengah baya, dan kakek-kakek pun ada. Bahkan, menurut isu yang kudengar saat ini sudah mulai menyerang para waria.
Namun, kadangkala aku meratap melihat pipi meronanya harus tercium panas tengah hari yang membuat ronanya semakin memerah. Karena setiap dluhur aku pulang dan tanpa keterbalikan kodrat sekalipun aku harus menyelesaikan tugasku menggantikan istriku menjadi kuli cuci tetangga dan istriku menggantikan aku sebagai komandan wek wek. Sebenarnya aku tak tega. Tapi, ia terus memaksa tanpa sedikitpun memberiku kesempatan untuk menyela. Biar adil Kang Mas! Kita ini kan suami istri. Jadi, kita harus saling merasakan pahit manis pekerjaan masing-masing. Biar nantinya aku tahu, ternyata menggembala bebek itu tidak mudah. Dan akhirnya aku tidak sampai menyepelekan apalagi sampai menghina pekerjaan Kang Mas. Begitu juga sebaliknya untuk Kang Mas. kalimat yang ia ucapkan begitu bijaksana. Hingga aku tak kuasa menyela apalagi menolaknya. Akhirnya jadilah Aini. Istriku. Wanita penggembala bebek pertama di dunia.
Kadang-kadang aku heran. Kenapa perempuan cantik macam dia mau menaruh separuh harapanya padaku. Padahal aku tak punya apa-apa. Jangankan ijazah akademik, ijazah dari pesantren dulu saja lenyap terhanyut banjir bandang yang melanda desaku setahun sebelum aku menyuntingnya dan menjadikannya yang halal bagiku. Jangankan sawah. Segumpal tanah pun aku tak punya. Jangankan uang banyak. Menikahinya saja pakai mahar cincin Ibuku. Itupun hanya seberat dua gram. Sama sekali tak punya nilai jual dijamanku ini.
Dulu, Ibunya sudah melarang untuk menikah denganku. Terlebih ayahnya. Tapi, kalau tak menentang bukan Aini namanya. Ia memuntahkan segala alasan yang daijukan Ayahdan Ibunya agar tak menerima pinanganku. Aini tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan upacara sakral pernikahannya denganku. Aku tak bisa apa-apa. Apalagi mencabut khitbah yang terlanjur diajukan bapakku. Aku tak mau di cap sebagai lelaki yang tak konsisten dan mempermainkan anak orang. Terlebih mengkhianati janji dan menghancurkan mimpi yang telah ku rajut bersama Aini kurang lebih enam tahun pacaran di pesantren dulu. Tapi, aku juga takut menghadapi takdir. Aku tidak siap jika harus lara hati tanpa cinta dan hanya kudapat hina.
Akhrinya, setelah Aini mengancam akan bunuh diri kalau sampai tidak ijab qobul denganku. Ayahdan Ibunya serta kerabat dan seluruh keluarganya merestui walau berat hati. Dan acara sakral yang hanya ku alami sekali seumur hidup itu benar-benar ku laksanakan dengan Aini. Sama seperti mimpi-mimpi yang kurajut bersama Aini selama ini.
Banyak orang mengatakan. Bahwa aku sungguh benar-benar lelaki yang sangat-sangat beruntung dapat memperistri Aini. Aku bisa kaya mendadak kata mereka. Huft! Berani sekali mereka bicara seperti itu. Aku bukan lelaki pengerat! Juga tak sedikit pula yang menggunjingkan  bahwa aku menggunakan pelet untuk memikat Aini. Enak saja! Tak pernah ada kamus dan pelajaran dalam hidupku selama di pesantren untuk belajar bahkan mengamalkan ilmu syirik itu. Tapi entahlah. Istriku memang perempuan paling tangguh yang pernah ku jumpai selama aku mengembarakan diri. Ia selalu memberiku kekuatan dan kepercayaan untuk tetap kuat melayarkan biduk  rumah tangga kami yang baru dan menghiraukan gunjingan orang-orang yang tak mampu dan tak tak setuju.
Walaupun setelah pernikahan itu Ayahdan Ibunya menuntutku untuk menghidupi Aini sendiri. Tanpa sepeserpun bantuan darinya. Tetapi Aini tetap memberiku kekuatan dengan selalu membisikkan beberapa kalimat yang membuatku kuat hingga hari ini.
 Alloh Maha Segalanya. Alloh Maha Agung dan Maha Tahu Kang Mas. Tidak mungkin Alloh membiarkan kita mati kelaparan. Sedangkan, niat kita adalah menempuh jalan terbaik untuk menghindari zina dan melaksanakan sunah Rosul-NYA. Gusti ora sare Kang Mas. Alloh yang memberi kita hidup bukan Ibu atau Ayahku. Jika saat ini kita susah, pasti Kang Mas punya kesempatan untuk membahagiakan aku. Entah itu kapan. Tapi pasti akan tiba. Duuuuuuuuuh Gusti. Aku berlinangan air mata jika mengingat kalimat sakralnya itu. Apalagi saat ini, ia harus terima dengan penghasilanku yang tak seberapa; sebagai komandan barisan wek wek.
***
Kang Mas? sudah berapa kali Diajeng bilang kalau ada makanan didepan kita, tidak kita makan, saru namanya. Apalagi yang masak tadi itu aku, istrimu Kang Mas. Apa Kang Mas sudah tidak suka dengan masakanku? atau Kang Mas sudah bosen makan sambel lauk ikan asin terus?” tanyanya lirih. Menghancurkan seluruh imaji masa lalu yang kurajut sejak tadi seraya mendekat. Memeluk lenganku dan berbisik lembut hingga aku mampu merasakan halus hembusan nafasnya.
Tidak Diajeng. Kang Mas cuma kasihan sama kamu. Apa Diajeng sendiri tidak bosan makan sambel lauk ikan asin terus?” aku balik bertanya. Sedang yang ditanya hanya menjawab dengan gelengan serta senyum madunya yang selalu membuat aku terbelenggu untuk merindunya.
Belum sempat istriku melepas kuluman senyumnya. Aku sudah mendapati tirta mata miliknya. Tepat dikedua bola matanya aku menatapnya dalam-dalam. Mencoba mencari makna atas senyum yang baru saja ia cipta untukku. Kedua mata indah miliknya itu begitu mempesona. Membuat siapapun dan lelaki manapun yang dipandangnya terpana hingga jatuh cinta. Akulah salah satunya.
Istriku gelagapan. Ia jadi salah tingkah setelah tahu kalau aku sedang menatapnya penuh rindu. “Kang Mas? dalam minggu-minggu ini Diajeng tidak mau kalau sampai Kang Mas pergi lama-lama. Aku tidak kuasa jikalau harus menahan rindu yang menyiksa ini terlalu lama”    
Aku menatap heran pada istriku. Ada apa dengan istriku? Tidak biasanya ia semanja ini. Mendengar kata-katanya aku kembali teringat masa pacaran dulu. Lucu, wagu, haru, rindu dan cemburu bercampur jadi satu.
Aku kembali menatapnya. Semakin dalam kali ini. Namun, pelukanya pada lenganku semakin erat dan senyum yang ia kulum itu tak lagi hanya madu. Bahkan, bercampur tebu sekalipun belum mampu menandinginya.
“Harus kau tahu Diajeng, rasaku pun sama dengan rasamu. Jika selama ini kau mengerti Diajeng, bahwa aku merindukanmu dengan cara menjelma menjadi segala benda. Hingga.....” aku berhenti. Tak meneruskan rayuanku yang tak kalah manis dengan rayuanya.
Istriku melepas senyumnya. Ia menatapku manja. Mencari jawaban dari penggalan kalimatku tadi. Tapi aku diam saja. monoton dan malah sama sekali tak merespon. Ia semakin geram lalu mencubit kecil lenganku. Aku mengaduh. Pura-pura sakit. Lalu, ia kembali tersenyum menunjukkan gingsul pada giginya yang membuat senyumnya semakin memikat.
 “Hingga apa Kang Mas?” ia terpaksa bertanya. Karena tatapnya tak menenmui jawabku.
Aku mengecup keningnya. Lalu, ku dekatkan bibirku tepat pada daun telinganya. Kulanjutkan rayuanku tadi seraya berbisik. “Hingga apapun yang kau sentuh adalah aku Diajeng”.
Kali ini istriku memeluk erat tubuhku. Ia merajuk. Bibir merahnya manyun, semakin menggoda.  
“Hidup seperti inilah yang kudambakan sejak dulu Kang Mas”.
“Hidup seperti apa Diajeng?” aku pura-pura tak paham. Karena aku ingin mendengar langsung maksud dari ucapanya.
Istriku melepas pelukanya. Kali ini ia menyandarkan mesra kepalanya di pundakku. “Hidup denganmu Kang Mas. Hidup sederhana tepi penuh cinta kasih dan kebahagiaan”.
“Walaupun tak bergelimang harta kekayaan sama sekali?”.
“Aku tak pernah menginginkan harta Kang Mas. Aku hanya ingin dekap hangat cinta kasihmu. Sebab harta hanya titipan semata dan tak pernah menjanjikan apa-apa. aku hanya ingin bahagia Kang Mas”
“Jika kau bahagia atas bahagia yang kucipta untukmu. Akupun akan bahagia melebihi rasa bahagiamu Diajeng” tanganya kembali melingkar dipinggangku. Memeluk erat tubuhku seraya mencium mesra pipi kananku. Aku tersipu. Memerah udang pipiku dibuatnya.
“Terima kasih Kang Mas. Aku sungguh mencintaimu bahkan sejak sebelum kau lahir”
Kali ini istriku terlalu berlebihan merayuku. Lama-kelamaan aku tak mampu menyembunyikan rasa penasaranku. Jujur. Ku akui, aku pun sangat menyukai kemanjaan istriku pagi ini. Tapi, aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa manjanya melampaui batas normal kebiasanya?
“Diajeng? sebelumnya Kang Mas minta maaf kalau pertanyaan Kang Mas ini membuat Diajeng sakit hati. Tapi sungguh bukan itu yang Kang Mas maksud. Kang Mas sangat heran dengan apa yang terjadi pada Diajeng pagi ini?”
“Memangnya Diajeng kenapa? Diajeng melakukan salah pagi ini? Atau Kang Mas tidak suka dengan sikap Diajeng pagi ini?” istriku bertanya penasaran.
“Tidak Diajeng. Sama sekali tidak. Malah sebaliknya, Kang Mas sangat menyukai kemanjaan Diajeng pagi ini. Tapi Kang Mas penasaran, apa yang sebenarnya menyebabkan Diajeng semanja ini? Bahkan tidak seperti biasanya”
Istriku tersenyum. Mengangguk-angguk, mengerti dengan apa yang ku maksud. “Kang Mas sungguh ingin tahu?”
Aku menjawab pertanyaanya dengan anggukan mantap tanpa rasa ragu sedikitpun.
Istriku kembali tersenyum. Untuk kesekian sekalinya ia menyiksaku dengan segudang teka-teki pada senyum madunya. Tiba-tiba ia berdiri. Memegang perutnya dan berbisik kepadaku.
“Aku hamil Kang Mas”.
Istriku tetap tersenyum. Namun, aku malah terperangah. Tak percaya dengan apa yang kudengar baru saja. Kuberanikan sekali lagi bertanya, untuk meyakinkan bahwa apa yang baru saja kudengar itu memang nyata.
“Sungguh Diajeng!”
“Sungguh Kang Mas!”
Mendengar jawabnya tak ada ragu sedikitpun, tanpa kusadari aku beranjak dari tempat dudukku. Lalu, kuletakkan keningku dilantai. Kupanjatkan sujud syukur sekaligus do’a pada Sang Pencipta Cinta. Alloh yang Maha Kuasa.
“Alhamdulillah Ya Roob...! akhirnya terjawablah sujud panjang yang selama ini kami panjatkan setiap sepertiga malam. Semoga Engkau berkahi anak pertama kami dan Engkau jadikan anak yang soleh dan solehah”
“Amin Ya Roob...!” istriku mengamini do’aku dari belakang.
Buru-buru kuambil nasi sepiring penuh sekaligus sambel beserta ikan asinya. Kusantap begitu lahap. Bahkan rasa pedas sama sekali tak kurasa. Aku begitu bahagia pagi ini. Terajawab sudah kemanjaan istriku tadi. Aku begitu lega. Sangat bahagia.
“Makanya pelan-pelan Kang Mas, nanti keselek lo” aku hanya menanggapi peringatanya dengan senyum. Tanpa menghentikan cara makanku yang sudah tak aturan. Saat ini aku tak menginginkan apa-apa kecuali yang terbaik buat istriku dan kandunganya.
Setelah kuakhiri makanku dengan sendawa. aku segera berpamitan untuk menunaikan tugasku sebagai komandan sekaligus mencari nafkah untuk istri dan anakku yang saat ini tengah dikandungnya. Lalu, ku kecup kening Istriku setelah ia mencium punggung tanganku penuh haru. aku tersedu. Istriku juga. Kami terbuai kebahagiaan yang sangat. Sampai aku lupa bahwa sudah berpamitan untuk menunaikan tugasku sebagai komandan yang tak berseragam. Komandan wek wek.
“Kang Mas, bulan mei tahun depan Diajeng punya angen-angen untuk mengadakan syukuran dalam rangka ulang tahun pernikahan kita sekaligus piton-piton anak kita”  
Aku terperanjat dengan pernyataan istriku barusan. Seketika aku teringat pekerjaanku yang sama sekali tak cukup jika harus mengadakan syukuran. Kebingunganku terbaca oleh istriku. Ia meraih tanganku dan mendekapnya. Hangat penuh harap.
“Tidak usah bingung Kang Mas. Bulan mei itu masih lama. Masih sekitar tujuh bulan lagi. Masih banyak waktu untuk berusaha. Alloh akan mengganjar umat-Nya sesuai usahanya Kang Mas”
“Tapi Diajeng...” tak kulanjutkan ucapanku, aku tak mau menyakiti istriku. Aku tak mau jika pagi yang penuh bahagia ini berubah menjadi rasa haru dan iba. Apalagi membuat istriku menestaskan air mata lara.
“Tidakkah Kang Mas ingat janji Alloh kepada umat-Nya. Lain syakartum laaziidan nakum wa lain kafartum inna Adzaabii Lasyadiid. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih. Maka dari itu Kang Mas, kita harus selalu mensyukuri ni’mat yang kita dapatkan dan Alloh pasti akan menepati janji-Nya. Percayalah Kang Mas! Alloh memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Mungkin inilah saat yang sering Diajeng katakan kepada Kang Mas. Saat dimana Kang Mas mampu mewujudkan keinginan dan membahagiakan Diajeng”
Jemariku di genggam erat penuh harap. Aku mengangguk meski agak berat. Kuayunkan langkah keluar rumah. Perlahan. Kulirik sebentar kearah istriku. Ia mengerling meski dengan mata sembab. Tak kuasa kutahan rasa iba. Aku kembali berlari kearah istriku. Kupeluk erat tubuhnya. Aku kembali tersedu, juga istriku. Kali ini, kami mencoba menjajaki kedalam rasa masing-masing. Entah aku mampu ataupun tak mampu, aku tak mau tau. Yang jelas aku harus mampu. Mewujudkan impian Istriku. Aini. Wanita paling tangguh sekaligus inspirasi dan semangat hidupku.   
***
Senja kali ini memerah, nampak sangat indah. Sebagaimana semangatku yang menggebu untuk mewujudkan impian istriku. Ambisiku menyala. Menyengat seluruh jiwa raga. Membuatku lupa segala bahkan hampir sakit jiwa. Sejak beberapa bulan yang lalu istriku mengutarakan keinginannya yang kuanggap mustahil dapat ku wujudkan angan dan mimpinya. Namun, aku tak mau menyerah dengan apapun dan siapapun. Tidak ada yang bisa menggangu atau apalagi menghancurkan mimpiku untuk mewujudkan keinginan istriku. Entah mengapa, tak lagi kurasakan lungkrah menghampiri ragaku. Barangkali karena ambisiku yang terlalu tinggi atau malah karena minggu depan sudah memasuki bulan mei. Ah entahlah. Atau mungkin karena aku terlalu memikirkan keinginan istriku. Karena sejak saat itu, aku sangat bingung. Meski diam aku selalu memikirkanya. Keinginan istriku ini bukan main-main apalagi dianggap dan dihadapi dengan dagelan.
Setelah beberapa minggu kupirkan masak-masak baru ku ambil sebuah keputusan. Tanpa sepengetahuan dan persetujuan istriku. Tapi sayang, keputusanku malah menimbulkan masalah baru. Istriku kebingungan, apa yang mau ditanak? Beras sudah habis. Apa yang mau disambel? Kalau lombok, tangkainya pun tak ada lagi. Apa yang mau dibuat lauk? Jikalau ikan asinya tinggal kepala semua. Aku semakin sendu menatap duka istriku. Apalagi kandunganya kini kian membesar. Jika ia melahirkan, uang mana yang akan kupakai untuk biaya dokternya. Untuk membelikan popoknya. Untuk memberikan nafkah yang sedikit lebih baik pada istriku agar tetap dalam keadaan sehat untuk menyusui putra pertama kami. Lalu darimana kudapatkan semua uang itu untuknya? Haruskah ku lakukan tindak kriminal? Atau barangkali seperti para tikus dan kucing negara yang sedang asyik berkolusi? Tapi, aku bukan tikus ataupun kucing negara.
Pikiranku semakin kacau. Entah kabur kemana kebijaksanaan yang lama ku pelajari di pesantren dulu. Tak lagi bisa aku berpikir jernih. Semua keputusan yang kuambil semrawut. Tak ada yang menyelesaikan masalah. Justru malah menimbulkan masalah baru. Duuuuuuuuuh tak kuat rasanya menahan iba atas duka yang dikelana istriku. Tak seharusnya wanita hamil makan yang sama sekali tak bergizi. Seperti apa kabar kandunganya? Lalu bagaimana kesehatan tubuhnya dapat terjaga? Beribu-ribu pertanyaan yang menghampiri benakku. Membuat aku semakin lungkrah. Aku melangkah pulang kerumah. Menggiring pasukanku. Membawa sejuta rasa iba dan duka atas terlantarnya nasib istriku yang saat ini tengah mengandung.
***
“Kang Mas, kenapa enam bulan terakhir ini gaji Kang Mas hanya separo? Padahal kebutuhan kita semakin meningkat. Lombok sudah habis, beras tak ada lagi yang ditanak. Ikan asin juga tinggal kepala semua Kang Mas.” Istriku bertanya tiba-tiba saat aku baru saja meletakkan ragaku yang penat di sebuah lincak depan rumah. Aku tergeragap. Tenggoroanku tercekat. Lama keadaan menjadi hening. Tak ada tatapku juga jawabku.
“Kenapa diam Kang Mas? Jawab pertanyaan Diajeng. Diajeng tidak akan marah. Apapun keputusan dan kebijakan yang Kang Mas ambil untuk keluarga kecil kita”
“Apa Diajeng tidak tahu, semenjak Diajeng hamil aku hanya bekerja setengah hari. Lalu pulang, menemani dan membantu Diajeng mencuci”
“Bukan alasan tepat yang kau ambil Kang Mas. Tiga bulan terakhir ini Kang Mas bekerja penuh sehari. Karena Kang Mas sendiri yang menyuruhku untuk berhenti bekerja mencuci. Dengan alasan, kandunganku sudah semakin besar dan aku harus lebih banyak istirahat demi kebaikanku dan kebaikan anak kita. Kang Mas bilang biar Kang Mas saja yang bekerja sehari penuh untuk menggantikan hasil kerja ku. Aku manut sama Kang Mas. Tapi kenapa gajinya tetap saja setengah dari biasanya?”
Aku tertunduk. Malu. Sebab istriku tahu apa yang kulakukan dalam tiga bulan terakhir ini. Ingin aku mengutarakan apa yang sebenarnya sedang kurencanakan. Tapi aku tak bisa. Malah aku sesenggukan. Tersedu di bawah pohon jambu. Diatas lincak tempat aku duduk. Aku bersimpuh tepat di telapak kaki istriku. Lalu coba kurasakan duka yang tengah dideritanya sebab lara tak punya apa-apa
“Barangkali, Kang Mas punya simpanan istri? Sehingga separoh gaji Kang Mas, diberikan untuk istri kedua?”
Aku terperanjat. Seketika itu aku berdiri. Mataku membulat. Tak percaya dengan apa yang baru saja istriku katakan.
Astaghfirullahaladzim! Ingat Diajeng suudzon tak pernah diajarkan di pesantren dulu. Syaiton apa yang merasuk dalam hatimu. Sehingga dengan lancangnya kau ucapkan kata itu. Jangankan melakukanya. Berpikir untuk melakukan itupun aku tak pernah. Demi Alloh Diajeng! Tak pernah ku khianati janji kita sewaktu ijab qobul dulu”
Istriku semakin tersedu. Aku memaksa senyum ditengah emosiku, hambar rasanya. Aku beranjak memeluknya. Meredam seluruh emosi yang telah di kobarkan syaiton seraya terus berdzikir dan mencoba menembus kalbu istriku yang tengah dirundung pilu.
Sungguh mengejutkan! Istriku berontak. Melepas peluku dengan paksa. Berlari kedalam rumah. Lalu, kembali menoleh kearahku. Kupaksa lagi senyumku, meski ulu hatiku terasa ngilu.
“Aku tidak suudzon Kang Mas. Kang Mas lah yang menyebabkan aku berpikir seperti itu. Bukan syaiton atau apalagi. Demi Alloh! Jangan pernah mengkambing hitamkan syaiton atas kesalahan kita sendiri. Syaiton tak tahu menahu tentang masalah ini”
Ulu hatiku terasa semakin ngilu. “Apa yang sesungguhnya ingin Engkau berikan kepadaku Ya Roob.. Sehingga seberat ini coba yang Engkau berikan”. Tubuhku lemah tak berdaya. Pelan kuhampiri istriku yang tengah tersedu di kursi rotan dalam ruang tamu itu. Namun, bukan menjadikanya lebih baik. Malah justru semakin membuatnya marah. Ia berlari kedalam kamar. Mengunci pintunya dan menupahkan seluruh emosinya.
Aku juga tertunduk sesenggukan. Tak berani lagi ku ketuk pintu kamar. Ku biarkan istriku menumpahkan seluruh duka dan lara yang dipendamnya sejak lama. Aku tak ingin mengganggunya apalagi menambah lara sukmanya. Kubiarkan ia tumpahkan seluruh rasa yang tengah dipendamnya saat ini. Biarlah tangis itu yang menghapus lukanya. Mengembalikanya lagi sebagai wanita tangguh yang ku kenal selama ini.
***
Setelah kejadian itu tak pernah lagi kujumpai senyum madunya menyapaku. Juga belai kasih sayang yang biasa ia berikan setiap aku pulang kerja. Tak ada lagi sarapan pagi. Padahal sudah kubelikan beras juga bumbu lengkap sekaligus ikan asin dan kutambah telur beberapa butir yang kubelikan khusus untuk istriku dan kandunganya dari uang yang kudapat dari menjual jam tanganku satu-satunya. Tapi, tetap saja tak ada sarapan. Terpaksa kutanak sendiri berasnya, kusambal sendiri ikan asinya, dan kugorengkan telur mata sapi istimewa khusus untuknya dan kuletakkan didepan pintu kamarnya sebelum aku berangkat bekerja. Namun, tetap saja ia tak mau mencicipnya. Aku bingung, limbung dan ingin marah. Bagaimana dengan kesehatanya dan kesehatan kandunganya jika ia tak makan berhari-hari? Aku juga semakin rindu ketika tak ada lagi kemesraan dan kebahagiaan yang dua tahun terakhir ini ku rajut bersamanya. Jangankan berbicara denganya, tidur didalam kamar bersama saja ia tak mau. Bahkan, untuk sekedar menemaninya pun aku tak diizinkan. Padahal aku ini masih syah sebagai suaminya. Aku semakin bingung harus berbuat apa.
***
Senja begitu muram, tak ada sinar merah menyalanya kali ini. Adzan asyar yang dikumandangkan mengiringi langkahku pulang dengan membawa sejuta harapan. Bersua istriku. Memberikan uang yang ku kumpulkan sejak tujuh bulan lalu dan segera mewujudkan angan dan mimpinya di bulan mei ini. Aku berjalan cepat-cepat. Sebab ingin segera tiba di rumah. Hatiku begitu gembira, bahagia sekaligus menahan rasa iba dan tak tega atas duka yang sedang istriku derita dan ingin sekali kuakhiri sekarang juga derita itu. Aku ingin berteriak tapi tak bisa. Lalu kuputuskan untuk berlari. Hampir sampai didepan rumah. Namun, langkahku terhenti. Kulihat istriku, ia tersenyum. Iba menatapku berlumur lumpur dan bersimbah keringat. Setitik air bening mengalir dari tirta matanya yang tak lagi mempesona. Aku terdiam. Tapi juga tersedu. Lalu tiba-tiba, tanpa kusadari sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang. Tak sempat aku mengelak apalagi berteriak.
“braaaaaaak!!”
“Allohu Akbar!” Itulah pekikan lirih yang sempat ku ucapkan. Istriku terperanjat. Sama sekali tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. ia berlari menuju ragaku yang terkapar. Kurasakan darah mengalir dari setiap celah tubuhku. Sakit sekali. Mataku terbuka perlahan dan menemui tatap istriku yang berurai air mata. Istriku memeluk tubuhku yang terkapar. Air matanya mengalir semakin lancar hingga kurasakan perih ketika jatuh pada luka tubuhku. Ia ingin berteriak. Tapi tak bisa. Tenggorokanya tercekat. Ia diam, tubuhnya begitu kuat memeluk ragaku yang mengggelepar. Aku tak menyangka kenapa ini terjadi ketika istriku hamil tua. Dan aku belum mampu mewujudkan mimpinya. Saat aku belum bisa membahagiakanya dan mampu memberinya kehidupan yang layak. Tapi sungguh, tak ada yang mampu menolak kehendak takdir. Semuanya telah tertulis indah dalam lauhmahfudz.
Aku ingin berkata. Tapi tak bisa. Aku mencoba sekuat tenaga menggerakkan tanganku. Aku tak bisa. Kucoba lagi. Namun, malah rasa sakit yang kudapatlkan.  Aku tak mau gagal. Ku coba lagi dengan sekuat tenaga. Kali ini berhasil. Kurogoh  saku bajuku yang kumal. Kuambil  plastik kecil yang berisi sejumlah uang dan kekuberikan kepada istriku. Namun, belum sempat ia terima tanganku sudah tak kuat lagi. Istriku tahu. Ia segera meraih uang itu. Ia betul-betul kaget melihatnya. Ia heran darimana kudapatkan uang sebanyak itu. Lalu, ia melihat selembar kertas yang terlipat kusut dan bercampur darah, ia segera mengambilnya. Membukanya perlahan, kemudian membacanya.
Diajeng. Istriku yang tangguh. Inspirasi sekaligus semangat hidupku hingga saat ini.
Maaf jika goresan penaku hanya menambah luka sukmamu. Tapi sungguh bukan itu yang ku inginkan. Aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu kala itu. Gajiku memang hanya kuambil separo untuk beberapa bulan ini. Sebab aku ingin membahagiakanmu. Mewujudkan mimpi dan anganmu dIbulan mei ini. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita juga acara syukuran piton-piton bayi kita yang tengah kau kandung. Aku juga ingin membelikan popok dan baju buat si kecil stelah lahir. Tak pernah aku mengkhianatimu Diajeng. Sungguh! Memang inilah yang tengah ku rencanakan. Demi Alloh! Kusampaikan maaf sedalam-dalamnya padamu istriku.maaf jika aku belum mampu memberimu kehidupan yang layak seperti yang mungkin kau dambakan selama ini.
Maaf
Maaf aku pernah melukaimu
Maaf aku pernah menyakitimu
Maaf aku selalu ngengkel hingga kau jengkel
Maaf atas kesalahan yang kau ingat sekaligus tak pernah teringat
Maaf aku pernah tak memberimu maaf
Maaf terlalu banyak yang harus kau maaf
Dan maaf jika besok aku tak lagi bisa minta maaf
Ttd
Suamimu yang sangat merindukan senyum dan belai kasihmu

Istriku tak lagi mampu berbuat apa-apa setelah membacanya. Ia betul-betul tak tahu dan ini memang salahku, tak pernah memberinya tahu. Ia terlihat begitu menyesal. Raganya lungkrah, lemah dan sama sekali tak berdaya. Aku sudah tak kuat lagi, aku merasa semakin dekat. Kutatap istriku sejenak, ia sedu-sedan. Lalu, sampailah pada akhir hidupku tanpa sebuah pesan.
           
Puncak Indah Permai, 09 juli 2012

Enggar Tata adalah nama pena dari Ahmad Suharno, lahir di Sumatera Selatan Tepatnya di ujung timur kota Lubuk Linggau, sekarang berdomisili di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung dan sedang study di SMA Darussalam. Sekarang sedang mencoba untuk belajar mendalami cerpen dan puisi.