Duka Istri KomandanWekWek
Oleh: Enggar Tata
Entah bagaimana mulanya, saban usai menunaikan shalat subuh aku menjadi seorang komandan. Menyiapkan pasukan dan
menggiringnya ke sawah yang selesai dipanen. Istriku. Igo wekasku. Selalu sedia menyiapkan sarapan seadanya sebelum aku berangkat. Ia
akan selalu tampil menawan di depanku. Tak perduli
dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Sungguh beruntung lelaki macam aku ini.
Bujang lapuk yang miskin mampu menyunting seorang gadis kembang desa, anak saudagar kaya yang menjadi idaman setiap lelaki.
Mulai dari yang muda, setengah baya, dan kakek-kakek pun ada. Bahkan, menurut
isu yang kudengar saat ini sudah mulai menyerang para waria.
Namun, kadangkala aku meratap
melihat pipi meronanya harus tercium panas tengah hari yang membuat ronanya semakin memerah. Karena setiap dluhur aku pulang dan tanpa
keterbalikan kodrat sekalipun aku harus menyelesaikan tugasku menggantikan
istriku menjadi kuli cuci tetangga dan istriku menggantikan aku sebagai
komandan wek wek. Sebenarnya aku tak
tega. Tapi, ia terus memaksa tanpa sedikitpun memberiku
kesempatan untuk menyela. “Biar adil Kang Mas!
Kita ini kan suami istri. Jadi, kita harus saling merasakan pahit manis
pekerjaan masing-masing. Biar nantinya aku tahu, ternyata menggembala bebek itu tidak mudah. Dan akhirnya aku tidak sampai menyepelekan apalagi sampai menghina pekerjaan Kang Mas. Begitu juga sebaliknya untuk Kang Mas.” kalimat yang ia ucapkan begitu bijaksana. Hingga aku tak kuasa menyela apalagi menolaknya. Akhirnya jadilah Aini.
Istriku. Wanita penggembala bebek pertama di dunia.
Kadang-kadang aku heran. Kenapa perempuan
cantik macam dia mau menaruh separuh harapanya padaku. Padahal aku tak punya
apa-apa. Jangankan ijazah akademik, ijazah dari pesantren dulu saja lenyap terhanyut
banjir bandang yang melanda desaku setahun sebelum aku menyuntingnya dan
menjadikannya yang halal bagiku. Jangankan sawah. Segumpal tanah pun aku tak
punya. Jangankan uang banyak. Menikahinya saja pakai mahar cincin Ibuku. Itupun
hanya seberat dua gram. Sama sekali tak punya nilai jual dijamanku ini.
Dulu, Ibunya sudah melarang untuk
menikah denganku. Terlebih ayahnya. Tapi, kalau tak menentang bukan Aini namanya. Ia memuntahkan segala
alasan yang daijukan Ayahdan Ibunya agar tak menerima pinanganku. Aini tetap
bersikeras untuk tetap melaksanakan upacara sakral pernikahannya denganku. Aku
tak bisa apa-apa. Apalagi mencabut khitbah yang terlanjur diajukan bapakku. Aku
tak mau di cap sebagai lelaki yang tak konsisten dan mempermainkan anak orang. Terlebih mengkhianati janji dan menghancurkan mimpi yang
telah ku rajut bersama Aini kurang lebih enam tahun pacaran di pesantren dulu. Tapi,
aku juga takut menghadapi takdir. Aku tidak siap jika harus lara hati tanpa
cinta dan hanya kudapat hina.
Akhrinya, setelah Aini mengancam akan
bunuh diri kalau sampai tidak ijab qobul
denganku. Ayahdan Ibunya serta kerabat dan seluruh keluarganya merestui walau
berat hati. Dan acara sakral yang
hanya ku alami sekali seumur hidup itu benar-benar ku laksanakan dengan Aini. Sama seperti mimpi-mimpi yang kurajut bersama Aini selama ini.
Banyak orang mengatakan. Bahwa aku sungguh benar-benar lelaki yang sangat-sangat beruntung
dapat memperistri Aini. Aku bisa kaya mendadak kata mereka. Huft! Berani sekali
mereka bicara seperti itu. Aku bukan lelaki
pengerat! Juga tak sedikit pula yang menggunjingkan bahwa aku menggunakan pelet untuk memikat Aini.
Enak saja! Tak pernah ada kamus dan pelajaran dalam hidupku selama di pesantren
untuk belajar bahkan mengamalkan ilmu syirik itu. Tapi entahlah. Istriku memang perempuan paling tangguh yang pernah ku jumpai selama
aku mengembarakan diri. Ia selalu memberiku kekuatan dan kepercayaan untuk
tetap kuat melayarkan biduk rumah tangga kami yang
baru dan menghiraukan gunjingan orang-orang
yang tak mampu dan tak tak setuju.
Walaupun setelah pernikahan itu Ayahdan
Ibunya menuntutku untuk menghidupi Aini sendiri. Tanpa
sepeserpun bantuan darinya. Tetapi Aini tetap memberiku kekuatan dengan selalu
membisikkan beberapa kalimat yang membuatku kuat hingga hari ini.
“Alloh Maha Segalanya. Alloh Maha Agung
dan Maha Tahu Kang Mas. Tidak mungkin Alloh membiarkan kita mati kelaparan. Sedangkan, niat kita adalah menempuh jalan terbaik
untuk menghindari zina dan melaksanakan sunah Rosul-NYA. Gusti ora sare Kang Mas. Alloh yang memberi kita hidup bukan Ibu
atau Ayahku. Jika saat ini kita susah, pasti Kang Mas
punya kesempatan untuk membahagiakan aku. Entah itu kapan. Tapi pasti akan tiba”. Duuuuuuuuuh Gusti. Aku berlinangan air mata jika mengingat
kalimat sakralnya itu. Apalagi saat ini, ia harus terima dengan penghasilanku
yang tak seberapa; sebagai komandan barisan wek wek.
***
“Kang Mas? sudah berapa kali Diajeng
bilang kalau ada makanan didepan kita, tidak kita makan,
saru namanya. Apalagi yang masak tadi
itu aku, istrimu Kang
Mas. Apa Kang Mas sudah tidak suka dengan masakanku? atau Kang Mas sudah bosen makan sambel lauk ikan asin terus?” tanyanya lirih. Menghancurkan seluruh imaji masa lalu
yang kurajut sejak tadi seraya
mendekat. Memeluk lenganku dan berbisik lembut hingga aku mampu merasakan
halus hembusan nafasnya.
“Tidak Diajeng. Kang
Mas cuma kasihan sama kamu. Apa Diajeng
sendiri tidak bosan makan sambel lauk ikan asin terus?” aku balik bertanya. Sedang yang ditanya hanya menjawab
dengan gelengan serta senyum madunya yang selalu membuat aku terbelenggu untuk merindunya.
Belum sempat istriku melepas kuluman
senyumnya. Aku sudah mendapati tirta mata miliknya. Tepat dikedua bola matanya aku
menatapnya dalam-dalam. Mencoba mencari makna atas senyum yang baru saja ia
cipta untukku. Kedua mata indah miliknya itu begitu mempesona. Membuat siapapun
dan lelaki manapun yang dipandangnya terpana hingga jatuh cinta. Akulah salah
satunya.
Istriku gelagapan. Ia jadi salah tingkah
setelah tahu kalau aku sedang menatapnya penuh rindu. “Kang Mas? dalam
minggu-minggu ini Diajeng tidak mau kalau sampai Kang Mas pergi lama-lama. Aku tidak
kuasa jikalau harus menahan rindu yang menyiksa ini terlalu lama”
Aku menatap heran pada istriku. Ada apa
dengan istriku? Tidak biasanya ia semanja ini. Mendengar kata-katanya aku
kembali teringat masa pacaran dulu. Lucu, wagu, haru, rindu dan cemburu
bercampur jadi satu.
Aku kembali menatapnya. Semakin dalam
kali ini. Namun, pelukanya pada lenganku semakin erat dan senyum yang ia kulum
itu tak lagi hanya madu. Bahkan, bercampur tebu sekalipun belum mampu menandinginya.
“Harus kau tahu Diajeng, rasaku pun sama
dengan rasamu. Jika selama ini kau mengerti Diajeng, bahwa aku merindukanmu
dengan cara menjelma menjadi segala benda. Hingga.....” aku berhenti. Tak
meneruskan rayuanku yang tak kalah manis dengan rayuanya.
Istriku melepas senyumnya. Ia menatapku
manja. Mencari jawaban dari penggalan kalimatku tadi. Tapi aku diam saja.
monoton dan malah sama sekali tak merespon. Ia semakin geram lalu mencubit
kecil lenganku. Aku mengaduh. Pura-pura sakit. Lalu, ia kembali tersenyum
menunjukkan gingsul pada giginya yang membuat senyumnya semakin memikat.
“Hingga apa Kang Mas?” ia terpaksa bertanya. Karena
tatapnya tak menenmui jawabku.
Aku mengecup keningnya. Lalu, ku
dekatkan bibirku tepat pada daun telinganya. Kulanjutkan rayuanku tadi seraya
berbisik. “Hingga apapun yang kau sentuh adalah aku Diajeng”.
Kali ini istriku memeluk erat tubuhku.
Ia merajuk. Bibir merahnya manyun, semakin menggoda.
“Hidup seperti inilah yang kudambakan
sejak dulu Kang Mas”.
“Hidup seperti apa Diajeng?” aku
pura-pura tak paham. Karena aku ingin mendengar langsung maksud dari ucapanya.
Istriku melepas pelukanya. Kali ini ia
menyandarkan mesra kepalanya di pundakku. “Hidup denganmu Kang Mas. Hidup
sederhana tepi penuh cinta kasih dan kebahagiaan”.
“Walaupun tak bergelimang harta kekayaan
sama sekali?”.
“Aku tak pernah menginginkan harta Kang
Mas. Aku hanya ingin dekap hangat cinta kasihmu. Sebab harta hanya titipan semata
dan tak pernah menjanjikan apa-apa. aku hanya ingin bahagia Kang Mas”
“Jika kau bahagia atas bahagia yang
kucipta untukmu. Akupun akan bahagia melebihi rasa bahagiamu Diajeng” tanganya
kembali melingkar dipinggangku. Memeluk erat tubuhku seraya mencium mesra pipi
kananku. Aku tersipu. Memerah udang pipiku dibuatnya.
“Terima kasih Kang Mas. Aku sungguh
mencintaimu bahkan sejak sebelum kau lahir”
Kali ini istriku terlalu berlebihan
merayuku. Lama-kelamaan aku tak mampu menyembunyikan rasa penasaranku. Jujur.
Ku akui, aku pun sangat menyukai kemanjaan istriku pagi ini. Tapi, aku
benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa manjanya melampaui
batas normal kebiasanya?
“Diajeng? sebelumnya Kang Mas minta maaf
kalau pertanyaan Kang Mas ini membuat Diajeng sakit hati. Tapi sungguh bukan
itu yang Kang Mas maksud. Kang Mas sangat heran dengan apa yang terjadi pada Diajeng
pagi ini?”
“Memangnya Diajeng kenapa? Diajeng
melakukan salah pagi ini? Atau Kang Mas tidak suka dengan sikap Diajeng pagi
ini?” istriku bertanya penasaran.
“Tidak Diajeng. Sama sekali tidak. Malah
sebaliknya, Kang Mas sangat menyukai kemanjaan Diajeng pagi ini. Tapi Kang Mas
penasaran, apa yang sebenarnya menyebabkan Diajeng semanja ini? Bahkan tidak
seperti biasanya”
Istriku tersenyum. Mengangguk-angguk,
mengerti dengan apa yang ku maksud. “Kang Mas sungguh ingin tahu?”
Aku menjawab pertanyaanya dengan
anggukan mantap tanpa rasa ragu sedikitpun.
Istriku kembali tersenyum. Untuk kesekian
sekalinya ia menyiksaku dengan segudang teka-teki pada senyum madunya.
Tiba-tiba ia berdiri. Memegang perutnya dan berbisik kepadaku.
“Aku hamil Kang Mas”.
Istriku tetap tersenyum. Namun, aku
malah terperangah. Tak percaya dengan apa yang kudengar baru saja. Kuberanikan
sekali lagi bertanya, untuk meyakinkan bahwa apa yang baru saja kudengar itu
memang nyata.
“Sungguh Diajeng!”
“Sungguh Kang Mas!”
Mendengar jawabnya tak ada ragu
sedikitpun, tanpa kusadari aku beranjak dari tempat dudukku. Lalu, kuletakkan
keningku dilantai. Kupanjatkan sujud syukur sekaligus do’a pada Sang Pencipta
Cinta. Alloh yang Maha Kuasa.
“Alhamdulillah Ya Roob...! akhirnya
terjawablah sujud panjang yang selama ini kami panjatkan setiap sepertiga
malam. Semoga Engkau berkahi anak pertama kami dan Engkau jadikan anak yang
soleh dan solehah”
“Amin Ya Roob...!” istriku mengamini
do’aku dari belakang.
Buru-buru kuambil nasi sepiring penuh
sekaligus sambel beserta ikan asinya. Kusantap begitu lahap. Bahkan rasa pedas
sama sekali tak kurasa. Aku begitu bahagia pagi ini. Terajawab sudah kemanjaan
istriku tadi. Aku begitu lega. Sangat bahagia.
“Makanya pelan-pelan Kang Mas, nanti keselek
lo” aku hanya menanggapi peringatanya dengan senyum. Tanpa menghentikan
cara makanku yang sudah tak aturan. Saat ini aku tak menginginkan apa-apa kecuali
yang terbaik buat istriku dan kandunganya.
Setelah kuakhiri makanku dengan sendawa.
aku segera berpamitan untuk menunaikan tugasku sebagai komandan sekaligus
mencari nafkah untuk istri dan anakku yang saat ini tengah dikandungnya. Lalu,
ku kecup kening Istriku setelah ia mencium punggung tanganku penuh haru. aku
tersedu. Istriku juga. Kami terbuai kebahagiaan yang sangat. Sampai aku lupa
bahwa sudah berpamitan untuk menunaikan tugasku sebagai komandan yang tak
berseragam. Komandan wek wek.
“Kang Mas, bulan mei tahun depan Diajeng
punya angen-angen untuk mengadakan syukuran dalam rangka ulang tahun
pernikahan kita sekaligus piton-piton anak kita”
Aku terperanjat dengan pernyataan
istriku barusan. Seketika aku teringat pekerjaanku yang sama sekali tak cukup
jika harus mengadakan syukuran. Kebingunganku terbaca oleh istriku. Ia meraih
tanganku dan mendekapnya. Hangat penuh harap.
“Tidak usah bingung Kang Mas. Bulan mei
itu masih lama. Masih sekitar tujuh bulan lagi. Masih banyak waktu untuk
berusaha. Alloh akan mengganjar umat-Nya sesuai usahanya Kang Mas”
“Tapi Diajeng...” tak kulanjutkan
ucapanku, aku tak mau menyakiti istriku. Aku tak mau jika pagi yang penuh
bahagia ini berubah menjadi rasa haru dan iba. Apalagi membuat istriku
menestaskan air mata lara.
“Tidakkah Kang Mas ingat janji Alloh
kepada umat-Nya. Lain syakartum laaziidan nakum wa lain kafartum inna
Adzaabii Lasyadiid. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (ni’mat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku amat pedih. Maka dari itu Kang Mas, kita harus selalu mensyukuri ni’mat
yang kita dapatkan dan Alloh pasti akan menepati janji-Nya. Percayalah Kang Mas!
Alloh memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Mungkin
inilah saat yang sering Diajeng katakan kepada Kang Mas. Saat dimana Kang Mas
mampu mewujudkan keinginan dan membahagiakan Diajeng”
Jemariku di genggam erat penuh harap.
Aku mengangguk meski agak berat. Kuayunkan langkah keluar rumah. Perlahan. Kulirik
sebentar kearah istriku. Ia mengerling meski dengan mata sembab. Tak kuasa
kutahan rasa iba. Aku kembali berlari kearah istriku. Kupeluk erat tubuhnya.
Aku kembali tersedu, juga istriku. Kali ini, kami mencoba menjajaki kedalam
rasa masing-masing. Entah aku mampu ataupun tak mampu, aku tak mau tau. Yang
jelas aku harus mampu. Mewujudkan impian Istriku. Aini. Wanita paling tangguh
sekaligus inspirasi dan semangat hidupku.
***
Senja kali ini memerah, nampak sangat
indah. Sebagaimana semangatku yang menggebu untuk mewujudkan impian istriku.
Ambisiku menyala. Menyengat seluruh jiwa raga. Membuatku lupa segala bahkan
hampir sakit jiwa. Sejak beberapa bulan yang lalu istriku mengutarakan
keinginannya yang kuanggap mustahil dapat ku wujudkan angan dan mimpinya.
Namun, aku tak mau menyerah dengan apapun dan siapapun. Tidak ada yang bisa
menggangu atau apalagi menghancurkan mimpiku untuk mewujudkan keinginan
istriku. Entah mengapa, tak lagi kurasakan lungkrah menghampiri ragaku.
Barangkali karena ambisiku yang terlalu tinggi atau malah karena minggu depan
sudah memasuki bulan mei. Ah entahlah. Atau mungkin karena aku terlalu
memikirkan keinginan istriku. Karena sejak saat itu, aku sangat bingung. Meski
diam aku selalu memikirkanya. Keinginan istriku ini bukan main-main apalagi dianggap
dan dihadapi dengan dagelan.
Setelah beberapa minggu kupirkan
masak-masak baru ku ambil sebuah keputusan. Tanpa sepengetahuan dan persetujuan
istriku. Tapi sayang, keputusanku malah menimbulkan masalah baru. Istriku
kebingungan, apa yang mau ditanak? Beras sudah habis. Apa yang mau disambel?
Kalau lombok, tangkainya pun tak ada lagi. Apa yang mau dibuat lauk? Jikalau
ikan asinya tinggal kepala semua. Aku semakin sendu menatap duka istriku. Apalagi
kandunganya kini kian membesar. Jika ia melahirkan, uang mana yang akan kupakai
untuk biaya dokternya. Untuk membelikan popoknya. Untuk memberikan nafkah yang
sedikit lebih baik pada istriku agar tetap dalam keadaan sehat untuk menyusui
putra pertama kami. Lalu darimana kudapatkan semua uang itu untuknya? Haruskah
ku lakukan tindak kriminal? Atau barangkali seperti para tikus dan kucing
negara yang sedang asyik berkolusi? Tapi, aku bukan tikus ataupun kucing
negara.
Pikiranku semakin kacau. Entah kabur
kemana kebijaksanaan yang lama ku pelajari di pesantren dulu. Tak lagi bisa aku
berpikir jernih. Semua keputusan yang kuambil semrawut. Tak ada yang
menyelesaikan masalah. Justru malah menimbulkan masalah baru. Duuuuuuuuuh tak
kuat rasanya menahan iba atas duka yang dikelana istriku. Tak seharusnya wanita
hamil makan yang sama sekali tak bergizi. Seperti apa kabar kandunganya? Lalu bagaimana
kesehatan tubuhnya dapat terjaga? Beribu-ribu pertanyaan yang menghampiri
benakku. Membuat aku semakin lungkrah. Aku melangkah pulang kerumah. Menggiring
pasukanku. Membawa sejuta rasa iba dan duka atas terlantarnya nasib istriku
yang saat ini tengah mengandung.
***
“Kang Mas, kenapa enam bulan terakhir
ini gaji Kang Mas hanya separo? Padahal kebutuhan kita semakin
meningkat. Lombok sudah habis, beras tak ada lagi yang ditanak. Ikan asin juga
tinggal kepala semua Kang Mas.” Istriku bertanya tiba-tiba saat aku baru saja
meletakkan ragaku yang penat di sebuah lincak depan rumah. Aku
tergeragap. Tenggoroanku tercekat. Lama keadaan menjadi hening. Tak ada tatapku
juga jawabku.
“Kenapa diam Kang Mas? Jawab pertanyaan Diajeng.
Diajeng tidak akan marah. Apapun keputusan dan kebijakan yang Kang Mas ambil
untuk keluarga kecil kita”
“Apa Diajeng tidak tahu, semenjak Diajeng
hamil aku hanya bekerja setengah hari. Lalu pulang, menemani dan membantu Diajeng
mencuci”
“Bukan alasan tepat yang kau ambil Kang
Mas. Tiga bulan terakhir ini Kang Mas bekerja penuh sehari. Karena Kang Mas
sendiri yang menyuruhku untuk berhenti bekerja mencuci. Dengan alasan,
kandunganku sudah semakin besar dan aku harus lebih banyak istirahat demi
kebaikanku dan kebaikan anak kita. Kang Mas bilang biar Kang Mas saja yang
bekerja sehari penuh untuk menggantikan hasil kerja ku. Aku manut sama Kang
Mas. Tapi kenapa gajinya tetap saja setengah dari biasanya?”
Aku tertunduk. Malu. Sebab istriku tahu
apa yang kulakukan dalam tiga bulan terakhir ini. Ingin aku mengutarakan apa
yang sebenarnya sedang kurencanakan. Tapi aku tak bisa. Malah aku sesenggukan.
Tersedu di bawah pohon jambu. Diatas lincak tempat aku duduk. Aku bersimpuh
tepat di telapak kaki istriku. Lalu coba kurasakan duka yang tengah dideritanya
sebab lara tak punya apa-apa
“Barangkali, Kang Mas punya simpanan
istri? Sehingga separoh gaji Kang Mas, diberikan untuk istri kedua?”
Aku terperanjat. Seketika itu aku berdiri.
Mataku membulat. Tak percaya dengan apa yang baru saja istriku katakan.
“Astaghfirullahaladzim! Ingat Diajeng
suudzon tak pernah diajarkan di pesantren dulu. Syaiton apa yang merasuk
dalam hatimu. Sehingga dengan lancangnya kau ucapkan kata itu. Jangankan
melakukanya. Berpikir untuk melakukan itupun aku tak pernah. Demi Alloh Diajeng!
Tak pernah ku khianati janji kita sewaktu ijab qobul dulu”
Istriku semakin tersedu. Aku memaksa senyum
ditengah emosiku, hambar rasanya. Aku beranjak memeluknya. Meredam seluruh
emosi yang telah di kobarkan syaiton seraya terus berdzikir dan mencoba
menembus kalbu istriku yang tengah dirundung pilu.
Sungguh mengejutkan! Istriku berontak. Melepas
peluku dengan paksa. Berlari kedalam rumah. Lalu, kembali menoleh kearahku. Kupaksa
lagi senyumku, meski ulu hatiku terasa ngilu.
“Aku tidak suudzon Kang Mas. Kang
Mas lah yang menyebabkan aku berpikir seperti itu. Bukan syaiton atau apalagi.
Demi Alloh! Jangan pernah mengkambing hitamkan syaiton atas kesalahan kita
sendiri. Syaiton tak tahu menahu tentang masalah ini”
Ulu hatiku terasa semakin ngilu. “Apa
yang sesungguhnya ingin Engkau berikan kepadaku Ya Roob.. Sehingga seberat ini
coba yang Engkau berikan”. Tubuhku lemah tak berdaya. Pelan kuhampiri istriku
yang tengah tersedu di kursi rotan dalam ruang tamu itu. Namun, bukan
menjadikanya lebih baik. Malah justru semakin membuatnya marah. Ia berlari
kedalam kamar. Mengunci pintunya dan menupahkan seluruh emosinya.
Aku juga tertunduk sesenggukan. Tak
berani lagi ku ketuk pintu kamar. Ku biarkan istriku menumpahkan seluruh duka
dan lara yang dipendamnya sejak lama. Aku tak ingin mengganggunya apalagi
menambah lara sukmanya. Kubiarkan ia tumpahkan seluruh rasa yang tengah
dipendamnya saat ini. Biarlah tangis itu yang menghapus lukanya.
Mengembalikanya lagi sebagai wanita tangguh yang ku kenal selama ini.
***
Setelah kejadian itu tak pernah lagi
kujumpai senyum madunya menyapaku. Juga belai kasih sayang yang biasa ia
berikan setiap aku pulang kerja. Tak ada lagi sarapan pagi. Padahal sudah
kubelikan beras juga bumbu lengkap sekaligus ikan asin dan kutambah telur
beberapa butir yang kubelikan khusus untuk istriku dan kandunganya dari uang
yang kudapat dari menjual jam tanganku satu-satunya. Tapi, tetap saja tak ada
sarapan. Terpaksa kutanak sendiri berasnya, kusambal sendiri ikan asinya, dan
kugorengkan telur mata sapi istimewa khusus untuknya dan kuletakkan didepan
pintu kamarnya sebelum aku berangkat bekerja. Namun, tetap saja ia tak mau
mencicipnya. Aku bingung, limbung dan ingin marah. Bagaimana dengan kesehatanya
dan kesehatan kandunganya jika ia tak makan berhari-hari? Aku juga semakin
rindu ketika tak ada lagi kemesraan dan kebahagiaan yang dua tahun terakhir ini
ku rajut bersamanya. Jangankan berbicara denganya, tidur didalam kamar bersama saja
ia tak mau. Bahkan, untuk sekedar menemaninya pun aku tak diizinkan. Padahal
aku ini masih syah sebagai suaminya. Aku semakin bingung harus berbuat apa.
***
Senja begitu muram, tak ada sinar merah menyalanya kali
ini. Adzan asyar yang dikumandangkan mengiringi langkahku pulang dengan membawa
sejuta harapan. Bersua istriku. Memberikan uang yang ku kumpulkan sejak tujuh
bulan lalu dan segera mewujudkan angan dan mimpinya di bulan mei ini. Aku
berjalan cepat-cepat. Sebab ingin segera tiba di rumah. Hatiku begitu gembira,
bahagia sekaligus menahan rasa iba dan tak tega atas duka yang sedang istriku
derita dan ingin sekali kuakhiri sekarang juga derita itu. Aku ingin berteriak
tapi tak bisa. Lalu kuputuskan untuk berlari. Hampir sampai didepan rumah.
Namun, langkahku terhenti. Kulihat istriku, ia tersenyum. Iba menatapku berlumur
lumpur dan bersimbah keringat. Setitik air bening mengalir dari tirta matanya
yang tak lagi mempesona. Aku terdiam. Tapi juga tersedu. Lalu tiba-tiba, tanpa
kusadari sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang. Tak sempat aku
mengelak apalagi berteriak.
“braaaaaaak!!”
“Allohu Akbar!” Itulah pekikan lirih yang sempat ku
ucapkan. Istriku terperanjat. Sama sekali tak percaya dengan apa yang baru saja
ia saksikan. ia berlari menuju ragaku yang terkapar. Kurasakan darah mengalir
dari setiap celah tubuhku. Sakit sekali. Mataku terbuka perlahan dan menemui
tatap istriku yang berurai air mata. Istriku memeluk tubuhku yang terkapar. Air
matanya mengalir semakin lancar hingga kurasakan perih ketika jatuh pada luka
tubuhku. Ia ingin berteriak. Tapi tak bisa. Tenggorokanya tercekat. Ia diam,
tubuhnya begitu kuat memeluk ragaku yang mengggelepar. Aku tak menyangka kenapa
ini terjadi ketika istriku hamil tua. Dan aku belum mampu mewujudkan mimpinya.
Saat aku belum bisa membahagiakanya dan mampu memberinya kehidupan yang layak.
Tapi sungguh, tak ada yang mampu menolak kehendak takdir. Semuanya telah
tertulis indah dalam lauhmahfudz.
Aku ingin berkata. Tapi tak bisa. Aku mencoba sekuat
tenaga menggerakkan tanganku. Aku tak bisa. Kucoba lagi. Namun, malah rasa
sakit yang kudapatlkan. Aku tak mau
gagal. Ku coba lagi dengan sekuat tenaga. Kali ini berhasil. Kurogoh saku bajuku yang kumal. Kuambil plastik kecil yang berisi sejumlah uang dan
kekuberikan kepada istriku. Namun, belum sempat ia terima tanganku sudah tak
kuat lagi. Istriku tahu. Ia segera meraih uang itu. Ia betul-betul kaget
melihatnya. Ia heran darimana kudapatkan uang sebanyak itu. Lalu, ia melihat
selembar kertas yang terlipat kusut dan bercampur darah, ia segera
mengambilnya. Membukanya perlahan, kemudian membacanya.
Diajeng. Istriku yang tangguh. Inspirasi
sekaligus semangat hidupku hingga saat ini.
Maaf jika goresan penaku hanya menambah
luka sukmamu. Tapi sungguh bukan itu yang ku inginkan. Aku hanya ingin menjawab
pertanyaanmu kala itu. Gajiku memang hanya kuambil separo untuk beberapa bulan
ini. Sebab aku ingin membahagiakanmu. Mewujudkan mimpi dan anganmu dIbulan mei
ini. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita juga acara syukuran
piton-piton bayi kita yang tengah kau kandung. Aku juga ingin membelikan popok
dan baju buat si kecil stelah lahir. Tak pernah aku mengkhianatimu Diajeng.
Sungguh! Memang inilah yang tengah ku rencanakan. Demi Alloh! Kusampaikan maaf
sedalam-dalamnya padamu istriku.maaf jika aku belum mampu memberimu kehidupan
yang layak seperti yang mungkin kau dambakan selama ini.
Maaf
Maaf aku pernah melukaimu
Maaf aku pernah menyakitimu
Maaf aku selalu ngengkel hingga kau
jengkel
Maaf atas kesalahan yang kau ingat
sekaligus tak pernah teringat
Maaf aku pernah tak memberimu maaf
Maaf terlalu banyak yang harus kau maaf
Dan maaf jika besok aku tak lagi bisa
minta maaf
Ttd
Suamimu yang sangat merindukan senyum dan belai kasihmu
Istriku tak lagi mampu berbuat apa-apa setelah membacanya.
Ia betul-betul tak tahu dan ini memang salahku, tak pernah memberinya tahu. Ia
terlihat begitu menyesal. Raganya lungkrah, lemah dan sama sekali tak berdaya.
Aku sudah tak kuat lagi, aku merasa semakin dekat. Kutatap istriku sejenak, ia
sedu-sedan. Lalu, sampailah pada akhir hidupku tanpa sebuah pesan.
Puncak Indah Permai, 09 juli
2012
Enggar Tata adalah nama pena dari Ahmad
Suharno, lahir di Sumatera Selatan Tepatnya di ujung timur kota Lubuk Linggau,
sekarang berdomisili di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung dan sedang study
di SMA Darussalam. Sekarang sedang mencoba untuk belajar mendalami cerpen dan
puisi.